Rabu, 05 November 2008

PANDANGAN TEOLOGI KHAWARIJ, MURJI’AH, QODARIYAH, DAN JABARIYAH

Oleh Dadang Nurdin

Pendahuluan
Kematian khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan secara tragis melalui tangan para perusuh tahun 35 H telah menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa yang mengguncang tubuh umat Islam. Salah satu di antaranya adalah perang Shiffien, 2 tahun setelah ‘Ali ibn Abi Thalib dibai’at jadi khalifah menggantikan ‘Utsman.
Perang besar antara kubu ‘Ali dengan kubu Mu’awiyah ibn Abi Sufyan itu, tidak hanya mengoyak umat Islam menjadi dua kubu besar secara politis, tetapi juga melahirkan dua aliran pemikiran yang secara ekstrem selalu bertentangan yaitu Al-Khawarij dan Syi’ah. Misalnya Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah ‘Ali setelah peristiwa itu, sementara Syi’ah belakangan mengkultuskan ‘Ali sedemikian rupa sehingga seolah-olah ‘Ali adalah manusia tanpa cacat. Sekalipun semula pertentanga kedua aliran tersebut bersifat politik tapi kemudian untuk mendukung pandangan dan pendirian politik masing-masing, mereka memasuki kawasan pemikiran agama (baca: teologi)
Makalah ini tidak akan membahas tentang pertikaian dibidang politik antara kaum Khawarij dan syiah, akan tetapi menfokuskan pembahasan pada *andangan te63635g5s kaum Khawarij, Murji’ah, Qodariyah dan Jabariyah yang tercatat dalam sejarah mereka ini muncul setelah masa pertikaian antara Ali dan muawiyah, aliran-aliran ini memiliki pandangan-pandangan teologi yang berbeda-beda. Pertanyaan yang ingin penulis teliti jawabannya adalah baga50ana pandangan-pandangan teologi 2a40 Khawarij, Murji’ah, Qodariyah dan jabariyah.
Aliran Khawarij muncul pertama kali sebagai gerakan politis yang kemudian beralih menjadi gerakan teologis, sehingga Khawarij menjadi aliran dalam teologi Islam yang pertama, kaum khawarij dikenal sebagai sekelompok orang yang melakukan pemberontakan terhadap imam yang sah yang diakui oleh rakyat (ummat). Oleh karena itu, istilah Khawarij bisa dikenakan kepada semua orang yang menentang para imam, baik pada masa sahabat maupun pada masa-masa berikutnya. Golongan utama yang terdapat dalam aliran Khawarij yakni: Sekte Al-Azariqoh dan Sekte Al-Ibadiah. Sedangkan Aliran Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya “kafir mengkafirkan” terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana yang dilakukan oleh aliran Khawarij. Apa yang ada dalam pemikiran golongan ini adalah bahwa erbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan hukumnya. Dalam perkembangan selanjutnya, golongan Murji’ah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya Aliran Murji’ah terbagi kepada dua golongan besar, yakni “golongan moderat” dan “golongan ekstrim”.
Kata Kunci:
Teologi, Khawarij, Murji’ah, Iman, Faham
A. Aliran Khawarij
Istilah Khawarij berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali. Alasan mereka keluar, karena tidak setuju terhadap sikap Ali Bin Abi Thalib yang menerima arbirtrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan.
Khawarij merupakan aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Asy-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jema’ah, baik ia keluar pada masa sahabat Khulafaur Rasyidin, maupun pada masa tabi’in secara baik-baik.
Dermikian pula, kaum khawarij dikenal sebagai sekelompok orang yang melakukan pemberontakan terhadap imam yang sah yang diakui oleh rakyat (ummat). Oleh karena itu, istilah Khawarij bisa dikenakan kepada semua orang yang menentang para imam, baik pada masa sahabat maupun pada masa-masa berikutnya. Namun demikian, dalam tulisan ini nama Khawarij khusus diberikan kepada sekelompok orang yang telah memisahkan diri dari barisan Ali.
Pengikut Khawarij, pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Kehidupannya di padang pasir yang serba tandus, menyebabkan mereka bersipat sederhana, baik dalam cara hidup maupun dalam cara berfikir. Namun, sebenarnya mereka keras hati, berani, bersikap merdeka, tidak bergantung kepada orang lain, dan cenderung radikal. Karena watak keras yang dimiliki oleh mereka itulah, maka dalam berfikir dan memahami agama mereka pun berpandangan sangat keras.
Pada masa-masa perkembangan awal Islam, persoalan-persoalan politik memang tidak bisa dipisahkan dengan persoalan-persoalan teologis. Sekalipun pada masa-masa Rasulullah masih hidup, setiap persoalan tersebut bisa diselesaikan tanpa memunculkan perbedaan pendapat yang berkepanjangan di kalangan para sahabat. Setelah Rasulullah wafat, dan memulainya penyebaran Islam ke seluruh pelosok jazirah Arab dan luar Arab persoalan-persoalan baru pun bermunculan di berbagai tempat dengan bentuk yang berbeda-beda pula. Sehingga, munculnya perbedaan pandangan di kalangan ummat Islam tidak bisa dihindari.
1. Latar Belakang Kemunculan
Aliran Khawarij muncul pertama kali sebagai gerakan politis yang kemudian beralih menjadi gerakan teologis. Perubahan ini terutama setelah mereka merujuk beberapa ayat Alquran untuk menunjukkan, bahwa gerakan mereka adalah gerakan agama. dan secara terorganisir terbentuk bersamaan dengan terpilihnya pemimpin pertama, Abdullah bin Wahab Al-Rasyibi, yang ditetapkan pada tahun 37 H. (658 M). Karena pertimbangan-pertimbangan politis, Fazlur Rahman memandang bahwa Khawarij “tidak memiliki implikasi doktrinal yang menye-leweng, tetapi hanya seorang atau sekelompok pemberontak atau aktifis revolusi”.
Persoalan pergantian kepemimpinan ummat Islam (khalifah) setelah Rasulullah wafat, menjadi titik yang jelas dari semakin berlarut-larutnya perbedaan pendapat dan perselisihan di kalangan ummat Islam, bahkan menjadi isu akidah yang serius, sehingga menyebabkan munculnya berbagai aliran teologi . Terpilihnya Ali sebagai khalifah, menggantikan Usman, pertentangan dan peperangan diantara ummat Islam tidak reda. Pada akhirnya, ada upaya perdamaian diantara yang bertikai tersebut. Dua tokoh tampil, masing-masing mengatasnamakan sebagai juru pendamai dan wakil dari pihak Ali dan Muawiyah, yakni Abu Musa Al-Asy’ari dan Amru bin Ash.
Dalam sejarah Islam, usaha perdamaian itu dikenal dengan “Majlis Tahkim”, dalam persengketaan yang terjadi antara Ali dan Muawiyah pada perang Shiffin, suatu tempat di tepi Sungai Efrat, yang menyebabkan tampilnya Muawiyah sebagai khalifah. Hasil perdamaian tersebut, memunculkan kesepakatan bahwa Ali dipecat dari kursi kekhalifahan, dan Muawiyah ditunjuk sebagai penggantinya.
Setelah Muawiyah diangkat menjadi khalifah inilah, maka muncul golongan-golongan politik dilingkungan ummat islam, yakni Syi’ah, Khawarij, dan Murji’ah. Bermula dari persoalan politik, akhirnya berubah menjadi persoalan teologis, masing-masing saling menuduh dan mengeluarkan hukum dengan tuduhan-tuduhan kafir, dosa besar, dan lain-lain, sampai memunculkan persoalan sumber perbuatan manusia, apakah dari Tuhan atau dari diri manusia sendiri.
2. Faham-fahamnya
Pada masa sebelum terjadinya perpecahan di kalangan Khawarij, mereka memiliki tiga pokok pendirian yang sama, yakni : Ali, Usman, dan orang-orang yang ikut dalam peperangan serta orang-orang yang menyetujui terhadap perundingan Ali dan Muawiyah, dihukumkan orang-orang kafir.
Setiap ummat Muhammad yang terus menerus melakukan dosa besar hingga matinya belum melakukan tobat, maka dihukumkan kafir serta kekal dalam neraka.
Membolehkan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara tersebut khianat dan zalim.
Ada faham yang sangat fundamental dari kaum Khawarij yang timbul dari watak idealismenya, yaitu penolakan mereka atas pandangan bahwa amal soleh merupakan bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Demikian pula halnya, dengan latar belakang watak dan karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang suci) kepada pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.
Sebenarnya, menurut pandangan Khawarij, bahwa keimanan itu tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun demikian, karena pada umumnya manusia tidak bisa memecahkan masalahnya, kaum Khawarij mewajibkan semua manusia untuk berpegang kepada keimanan, apakah dalam berfikir, maupun dalam segala perbuatannya. Apabila segala tindakannya itu tidak didasarkan kepada keimanan, maka konsekwensinya dihukumkan kafir.
Dengan mengutip beberapa ayat Alquran, mereka berusaha mempropagandakan pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis itu, sebagaimana tercermin di bawah ini :
1. Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar; sedangkan Usman dan Ali, juga orang-orang yang ikut dalam “Perang Unta”, dipandang telah berdosa.
2. Dosa dalam pandangan mereka sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap pelaku dosa besar apabila ia tidak bertobat. Dari sinilah muncul term “kafir” dalam faham kaum Khawarij.
3. Khalifah tidak sah, kecuali melalui pemilihan bebas diantara kaum muslimin. Oleh karenanya, mereka menolak pandangan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy.
4. Ketaatan kepada khalifah adalah wajib, selama berada pada jalan keadilan dan kebaikan. Jika menyimpang, wajib diperangi dan bahkan dibunuhnya.
5. Mereka menerima Alquran sebagai salah satu sumber diantara sumber-sumber hukum Islam.
3. Sekte-sekte
Munculnya banyak cabang dan sekte Khawarij ini diakibatkan banyaknya perbedaan dalam bidang akidah yang mereka anut dan banyaknya nama yang mereka pergunakan sejalan dengan perbedaan akidah mereka yang beraneka ragam itu. Asy-syak’ah menyebutkan adanya delapan firqah besar, dan firqah-firqah ini terbagi lagi menjadi firqah-firqah kecil yang jumlahnya sangat banyak. Perpecahan ini menyebabkan gerakan kaum Khawarij lemah, sehingga mereka tidak mampu menghadapi kekuatan militer Bani Umayyah yang berlangsung bertahun-tahun. Sekte-sekte Khawarij tersebut antara lain, al-Azariqah, al-Ibadiah, al-Muhakkimah, al-Najdat, al-Jaridah, al-Sufriyah, dan Yazidiyah.

Menurut Prof. Taib Thahir Abdul Mu’in, bahwa sebenarnya ada dua golongan utama yang terdapat dalam aliran Khawarij, yakni :
a. Sekte Al-Azariqoh
Nama ini diambil dari Nafi Ibnu Al-Azraq, pemimpin utamanya, yang memiliki pengikut sebanyak dua puluh ribu orang. Di kalangan para pengikutnya, Nafi digelari “amir al-mukminin”. Golongan al-azariqoh dipandang sebagai sekte yang besar dan kuat di lingkungan kaum Khawarij.
Dalam pandangan teologisnya, Al-Azariqoh tidak menggunakan term kafir, tetapi menggunakan term musyrik atau politeis. Yang dipandang musyrik adalah semua orang yang tidak sepaham dengan ajaran mereka. Bahkan, orang Islam yang tidak ikut hijrah kedalam lingkungannya, dihukumkan musyrik.
Karena kemusyrikannya itu, kaum ini membolehkan membunuh anak-anak dan istri yang bukan golongan Al-Azariqoh. Golongan ini pun membagi daerah kekuasaan, yakni “dar al-Islam” dan “dar al-kufur”. Dar al-Islam adalah daerah yang dikuasai oleh mereka, dan dipandang sebagai penganut Islam sebenarnya. Sedangkan Dar al-Kufur merupakan suatu wilayah atau negara yang telah keluar dari Islam, karena tidak sefaham dengan mereka dan wajib diperangi.
b. Sekte Al-Ibadiah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh sekte Khawarij. Nama golongan ini diambnil dari Abdullah Ibnu Ibad, yang pada tahun 686 M. memisahkan diri dari golongan Al-Azariqoh.
Adapun faham-fahamnya yang dianggap moderat itu, antara lain :
Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan pula musyrik, tetapi kafir. Orang Islam demikian, boleh mengadakan hubungan perkawinan dan hukum waris. Syahadat mereka diterima, dan membunuh mereka yang tidak sefaham dihukumkan haram.
Muslim yang melakukan dosa besar masih dihukumkan ‘muwahid’, meng-esa-kan Tuhan, tetapi bukan mukmin. Dan yang dikatakan kafir, bukanlah kafir agama, tetapi kafir akan nikmat. Oleh karenanya, orang Islam yang melakukan dosa besar tidak berarti sudah keluar dari Islam.
Harta kekayaan hasil rampasan perang yang boleh diambil hanyalah kuda dan senjata. Sedangkan harta kekayaan lainnya, seperti emas dan perak, harus dikembalikan kepada pemiliknya. Daerah orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka, masih merupakan “dar at-tauhid”, dan tidak boleh diperangi.
B. Aliran Murji’ah
Aliran Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya “kafir mengkafirkan” terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal ini dilakukan oleh aliran Khawarij.
Aliran ini menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar, masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
1. Faham-fahamnya
Faham aliran Murji’ah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam “murji’ah” dan dalam sikap netralnya. Pandangan “netral” tersebut, nampak pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang berarti “orang yang menangguhkan”, mengakhirkan dan “memberi pengharapan”. Menangguhkan berarti “menunda soal siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan, dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan dosanya.
Istilah “memberi harapan” mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap kekufurannya. Mereka “berharap” bahwa seorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan mukmin.
Berdasarkan itu, maka inti faham Murji’ah adalah sebagai berikut :
Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya, barangsiapa yang tidak mengenal bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya”, ia mukmin sekalipun melakukan dosa.
Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman, sebab iman adanya dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan hukumnya.
2. Sekte-sekte Murji’ah
Kaum Murji’ah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya Aliran Murji’ah terbagi kepada dua golongan besar, yakni “golongan moderat” dan “golongan ekstrim”.
Golongan Murji’ah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukan. Sedangkan Murji’ah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibn Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang menyembah berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah menjadi kafir. Orang yang demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
C. Penutup
Demikianlah pembahasan aliran-aliran awal dalam pemikiran ilmu kalam, yang penulis hanya mengambil dua aliran saja yakni Aliran Khawarij dan Murji’ah. Sebenarnya, kedua aliran ini pada awal kemunculannya lebih bercorak aliran politis. Namun, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pemikirannya, kedua aliran ini menjadi aliran teologis. Atau boleh dikatakan, bahwa kedua aliran ini merupakan aliran politis sekaligus aliran teologis.


KEPUSTAKAAN
1. Amin, Ahmad, Fajrul Islam, Cairo : Dar al-Kutub, cet. XI, 1975.
2. Al-Asy’ari, Abu Al-Hasan ‘Ali ibn Isma’il, Maqalât al-Islamiyîn wa Ikhtilâfu al-îMushalln, Cairo : Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, cet. II, 1969.
3. Abu Zahrah, M, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, terjemah Shobahussurur, Gontor : PSIA, cet.I, 1991.
4. Ghazaly, ‘Ali Musthafa, Târîkh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasyah ‘Ilmi al-Kalâm ‘Inda al-Muslimîn, Cairo, Maktabah Muhammad ‘Ali Shabij wa Auladih, cet. III. 1958.
5. Grunebaum, G. E. von, Clasical Islam A History 600 A.D.-1258 A.D., Chicago: Aldine Publising Company, cet. I, 1970.
6. Hasan, Ibrahim Hasan, Târîkh al-Isâlm as-Siyâsi wa ad-diny wa ats-Tsaqafi wa al- Ijtimâ’iy, Cairo: Maktababah an-Nahdhah al-Misriyah, cet. IV, tahun 1957.
7. Ibnu Al-Atsir, Al-Kâmil fi at- Târîkh , jilid III, Beirut: Darus Sader, 1965.
8. Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wan Nihâyah, juz VII, Lebanon : Darul Kutub al-‘Ilmiyah. Tt.
9. Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: Jakarta, UI Press, cet.V, 1986.
10. Shaban, M.A., Sejarah Islam (Penafsiran Baru) 600-750, terjemahan Machnun Husein, Jakarta: Rajawali Pers, 1993.
11. Shiddiqi, Nouruzzaman, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah, Yogyakarta, PLP2M, cet, I, 1985.
12. Asy-Syahrastani, Muhammad Abdul Karim, Al-Milal wan-Nihal, Beirut: Darul Fikr, tt.
Ath-Thabari, Muhammad ibn Jarir, Târîkh al-Umam wal-Mulk, juz V, Lebanon: Darul Fikr, 1979.
13. Yahya, Mahayudi Haji, Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11- 78 H/632 – 698 M), Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, cet. II, 1986.